Jalanan pagi hari,
sudah dihuni mesin-mesin jalan yang lajunya berusaha menyaingi gerak matahari
dari kiri mau kanan jalan. Angin dingin terus berterpaan mengiringi gerak mesin
itu, terlihat diseberang sana seorang buta dengan sarug dan kemeja yang
terlihat lusuh, tangannya menunjuk kea rah ia akan pergi, menunggu angkutan
umum yang akan membawanya pergi.” Sarapan…Sarapan..sarapan…”seorang penjual
nasi bungkus menawarkan dagangannya. Si buta itu menjadi ingat sejak semalam
perutnya hanya terisi hawa, acing-cacing diperutnya mulai protes ada sang
“Empunya perut” . sandal jepitnya mulai bergerak dan mulutnya seolah ingin
memanggil penjual nasi bungkus itu, sayang kepingan rupiah disakunya hanya
cukup untuk ia berikan pada kenek nanti. Pikrannya kini tertuju pada angkutan
lagi, “dun..dun..dun…” terdengar suara truk besar bermuatan setumpuk barang
yang diselimuti kain lusuh berjalan perlahan agar tak kehilangan keseimbangan.
Meski perlahan, truk itu tetap membawa hembusan angina yang dingin menuju tubuh
si buta. Untungnya angkutan umum segea membawanya pergi, dan menghindar dari
godaan yang sedari tadi menemaninya menunggu. Diangkutan itu hanya tersisa
sebuah tempat duduk di sebelah jendela, disamping kanannya ada dua orang dengan
tangan penuh belanjaan dan dompet gendut penuh lembaran rupiah. Si buta hanya
bias menerima, selama perjalanan ia terus terdesak belanjaan dan mendengarkan
keluhan dua orang tadi soal harga cabai keriting yang terus melambung tinggi. Mereka
seolah tak mau tahu, disamping mereka ada orang yang makan saya tidak bias.
“karcisnya mas” suara kenek itu membuat kaget sibuta, ia segera meraba saku dan
mengambilkan kenek itu beberapa keeping rupiah, ia sudah hafal dengan ukurang
uang lima ratusan. “mau turun mana mas?” Tanya kenek itu lagi, “Pasar Sumberrejo”
sahut sibuta dengan lirih. Sesampainya ia di tempat tujuan si buta itu bergegas
menuju tempat tujuannya. “Kemana saja kau sudah siang baru terlihat” seorang
berpawakan batak menepuk bahunya, “hari ini tugasmu mengangkut barang-barang
yang ada disana, awas jangan sampai salah jalan macam kemarin” peringan si
Batak tadi. Sandal jepit si buta itu mulai menuju tumpukan barang yang sedari
tadi menantinya, diangkatnya tumpukan barang-barang menuju ke sebuah truk besar
tak jauh dari tempatnya mengangkat. Baru satu angkatan si buta itu sudah
terusik kembali dengan suara Markinah sang pemilik toko kelontong. “sampean mau
nunggak berapa lama lagi mas?, ini sudah awal bulan mestinya pak Batak sudah
memberikan gaji to?” uacapnya dengan nada jawa asli. Si Buta itu tahu, kalau
Markinh kini juga membutuhkan uang, namun apalah mau dikata gajinya sudah habis
untuk membayar upeti untuk bank. “maafkan aku Nah, aku bulan ini belum bisa
membayar hutangku” keluhnya pada Markinah. “lha mau sampe berapa lama lagi to
mas, warungku bias gulung tikar kalau begini caranya” timbal Markinah. Kemudian
Makinah pergii, ia bergumam “sudah kutebak mas jawabanmu”. Si Buta hanya bisa
ternduk lesu, kemudian melanjutkan pekerjannya. Sudah setengah hari setelah ia
tiba di pasar, dan kini azan magrib sudah mulai berkumandang. Si Buta segera
bergegas menuju masjid dekat pasar, meski ia berjalan dengan menggerak-gerakkan
bahunya yang menumpu beban puluhan kilo. Di ambilnya air wudhu kemudian dia
menempati barisan terdepan, dia akhir sembayangnya ia berdo’a “Tuhan, jika kau
berikan aku kebutaan tidak dapat melihat
indahnya ciptaan-Mu, aku tetap ikhlas dan bersyukur. Tapi Tuhan jangan sekali
kau butakan aku akan besarnya cinta-Mu. Karena Tuhan Cinta yang Sejati tak lain
adalah cinta dari-Mu”. Si Buta itu sadar benar selama hidupnya ia tak pernah
menerima cinta yang tulus dari sesame manusia, Ayah Ibunya meninggalkannya
begitu saja, orang-orang disamping selama meremehkannya, tapi hatinya tetap
sabar dan tenang, tidak gelisah seperti ibu-ibu yang mengeluhkan harga cabai,
atau pemilik toko kelontong yang selalu ia hutangi, karena ia sudah damai
bersama cinta yang sejati, yaitu cinta dari TUHAN.