Kamis, 13 Juni 2013

SMP Alternatif

Haruskah pendidikan yang berkualitas itu selalu mahal? Sekolah Qaryah Thayyibah (Desa Indah) membuktikan bahwa untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, anak-anak tidak perlu membayar mahal.


Qaryah Thayyibah (QT) ber­diri di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah pada tahun 2003. Sekolah ini lahir dari keprihatinan riil yang berlangsung di masyarakat setempat. Ahmad Bahruddin adalah pendiri sekolah ini. Warga asli desa tersebut memiliki anak laki-laki yang pada pertengahan 2003 hendak masuk SMP. Dia mampu membiayai sekolah anaknya. Tetapi, dia melihat tetangga-tetangganya tidak mampu menghadapi situasi tersebut. Dia merasakan sendiri bagaimana pendidikan di negeri ini menjadi sebuah tragedi untuk banyak warga miskin. Dari sana dia tergerak dan berpikir keras.

SMP Terbuka


Bahruddin yang adalah putra seorang Kiai desa tersebut, mewarisi kharisma dan bakat kepemimpinan ayahnya. Ia segera berembug dengan warga sekitarnya. Hasil rembugan ini membuahkan SLTP Terbuka. Mula-mula, sekolah menginduk pada sekolah negeri.

Dua belas anak terdaftar di sekolah ini. “Seperti jumlah murid Yesus,” kata Bahruddin sedikit bercanda. “Hanya di sini tidak ada yang menjadi Yudas.” Mereka berasal dari masyarakat sekitar, yang sehari-hari adalah petani, penjual jamu gendong, dan sebagainya. Ada juga keluarga yang berkecukupan yang juga mengirimkan anaknya ke QT.

Prinsip pertama yang menjadi pegangan Bahruddin ketika merintis sekolah adalah prinsip fungsional, yaitu memikirkan dan mengadakan sarana yang benar-benar dibutuhkan dan tidak bisa digantikan. Usaha untuk merealisasikan semua, termasuk komputer dan makanan bergizi, dimulai denganiuran tiga ribu rupiah setiap hari. Ini adalah jumlah uang minimal yang ada di saku anak sekolah dari keluarga miskin di Desa Kalibening.

Dengan dukungan dan bantuan seorang pengusaha Katolik di Salatiga, internet bisa diakses 24 jam penuh. Ini berlangsung pada tahun 2003, ketika institusi sebesar Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga saja belum memiliki pusat internet.

Komunitas belajar


Filsafat pendidikan Sekolah QT adalah membangun sebuah komunitas belajar. Di sana diciptakan ruang kebebasan anak. Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan anak. Dalam hal ini, anak diberi kesempatan menentukan macam aktivitas dan materi yang hendak dipelajari. Jika ingin menulis, silakan menulis. Lainnya membaca novel, membuka internet atau bereksperimen.

“Inspirasi dan kurikulum berasal dari anak-anak,” demikian keyakinan Bahruddin. Peranan guru bukan mendikte atau mengajar, melainkan mendukung kecenderungan anak didik. Bahkan, guru tidak perlu mengarahkan si anak. Semua anak diandaikan cerdas dan memiliki keunggulan yang berbeda-beda. Penyeragaman justru merusak anak. Padahal, pendidikan adalah abstraksi dari kehidupan.

Anak-anak bukan berkompetisi, melainkan membangun persahabatan. Di sinilah letak pemicunya. Tidak ada ranking, karena pada dasarnya setiap anak memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri. Selain itu, sistem ranking hanya menciptakan musuh. Musuh yang sesungguhnya adalah kebodohan diri sendiri.

Sistem memberikan hasil yang mencengangkan. Beberapa siswa-siswi QT mengungguli siswa-siswi sekolah induknya dalam seluruh mata pelajaran. Dalam umur belasan tahun, dua siswi menulis belasan buku dan novel. Lainnya, menggambar kartun dan membuat film pendek, dan sebagainya.

Meski sangat progresif, anak-anak ini mendalami kebudayaan lokal dan rakyat. Mereka menyanyi dan menciptakan lagu dangdut dan tembang Jawa. Tentu saja lirik di dalamnya bernuansakan nilai anak dan pendidikan.

QT adalah komunitas belajar. Alangkah baiknya bila ada usaha pembentukan komunitas belajar baru semacam QT di tempat-tempat lain. Mereka tidak perlu bergabung ke dalam QT. QT sendiri tidak mendukung keinginan anak dari luar komunitas QT yang hendak bergabung dengan QT. Tetapi, mendirikan banyak komunitas belajar yang cerdas (seperti QT) di tempat lain, bukanlah persoalan yang mudah dipecahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar